KANNIADVOKASI.ID – Persoalan tata ruang dan pertanahan kembali menjadi sorotan utama di wilayah selatan Kabupaten Bogor.
Dalam dialog lintas elemen yang digelar Sabtu (10/5/2025), berbagai pihak mengungkapkan kegelisahan atas karut-marut tata kelola ruang dan agraria yang kian memperparah persoalan sosial, ekonomi, hingga lingkungan hidup.
Dialog yang diinisiasi Forum Wartawan Bogor Selatan (FWBS), Aliansi Masyarakat Bogor Selatan (AMBS), Himpunan Petani Peternak Milenial Indonesia (HPPMI) Kabupaten Bogor, LSM Gebrak, dan Agraria Institut ini berlangsung di Saung Perjuangan 25, Desa Cipelang, Kecamatan Cijeruk.
Hadir dalam dialog tersebut Plt Ketua PWI Jawa Barat H. Danang Donoroso, para kepala desa, petani, aktivis lingkungan, dan insan pers.
Sejumlah persoalan mendasar mengemuka, seperti tumpang tindih kepemilikan tanah, lemahnya administrasi pertanahan, konflik lahan, dan praktik mafia tanah yang kian merajalela.
Hal ini disebut berdampak langsung terhadap kesejahteraan petani dan program ketahanan pangan nasional.
“Saya alami sendiri. Di letter C tertulis tanah saya 1.000 meter, tapi hasil ukur kurang. Bahkan saya kesulitan bayar pajak karena nomor register tanah tidak tercatat di BPN,” ungkap Danang Donoroso, menceritakan pengalamannya.
Senada dengan Danang, Bubung Saiful Arsyad, petani dari Desa Pasir Buncir, mengaku telah bertani puluhan tahun di lahan garapan eks PT BSS.
Namun tiba-tiba muncul klaim dari PT MNC Land yang mengaku sebagai pemilik sah lahan tersebut. “Beberapa petani bahkan dilaporkan ke polisi,” ujarnya.
Ketua HPPMI Kabupaten Bogor, Yusuf Bahtiar, menilai kondisi ini sebagai bentuk ketimpangan agraria yang akut.
“Investor hanya pegang surat, tidak pernah mengolah lahan. Sementara petani yang menggarap lahan justru diintimidasi. Ketika kami advokasi, malah dimusuhi,” tuturnya.
Direktur Agraria Institut, Dede Firman Karim, membeberkan bahwa kekacauan ini bersumber dari lemahnya peran BPN sebagai regulator, minimnya edukasi kepada masyarakat, serta pengawasan yang tidak berjalan optimal.
“Semua pihak butuh kepastian hukum. Masyarakat perlu paham status tanah dan administrasinya, agar tidak terjebak okupasi ilegal,” jelas Dede.
Ketua Umum AMBS, Muhsin SIP, menyatakan hasil dialog ini akan dibawa hingga ke Senayan sebagai bentuk advokasi sistemik.
Sementara itu, Ketua FWBS Acep Mulyana menegaskan, dialog ini menjadi langkah awal kolaborasi multipihak mencari solusi konkret terhadap persoalan agraria di wilayah selatan Bogor.
“Ke depan, kegiatan seperti ini akan kami perluas dengan melibatkan kepala daerah, BPN, camat, dan para kepala desa se-Kabupaten Bogor,” ujarnya.
Sebagai penutup, acara ditandai dengan penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) antara FWBS, AMBS, HPPMI, Agraria Institut, dan LSM Gebrak terkait pengelolaan lahan garapan petani, penataan tata ruang, pelestarian lingkungan, dan penanganan persoalan sosial kemasyarakatan. (Red)