Bogor – Fenomena munculnya sarjana hukum abal-abal kembali jadi sorotan publik.
Ketua Komite Advokasi Hukum Nasional Indonesia (KANNI) Kabupaten Bogor, Haidy Arsyad, S.H., yang juga dikenal sebagai penggiat pengawasan informasi publik pada Badan Publik Pemerintah, menilai kondisi ini bisa merusak kepercayaan masyarakat terhadap dunia hukum di Indonesia.
“Banyak kampus hanya mengejar bisnis, bukan kualitas. Mereka meluluskan sarjana hukum tanpa memastikan kemampuan dan integritasnya. Akibatnya, lahir sarjana hukum abal-abal yang justru mencoreng profesi hukum,” tegas Haidy di Bogor, Jumat (18/10/2025).
Haidy membedakan dua tipe lulusan hukum: sarjana hukum “original” yang menguasai teori dan praktik dengan etika, dan sarjana hukum “abal-abal” yang hanya mengejar gelar tanpa kompetensi.
“Sarjana hukum sejati bisa membaca regulasi, berpikir sistematis, dan berkomunikasi profesional. Yang abal-abal bahkan kesulitan menjelaskan konsep dasar hukum,” ujarnya.
Menurut Haidy, fenomena ini menjadi alarm keras bagi dunia pendidikan hukum.
Ia menegaskan, banyaknya lulusan yang tidak kompeten membuat masyarakat semakin skeptis terhadap profesi advokat, notaris, hingga konsultan hukum.
“Segelintir oknum tanpa integritas merusak kepercayaan publik. Padahal hukum itu pilar keadilan yang wajib dijaga,” ungkapnya.
Haidy mendesak pemerintah dan lembaga pendidikan hukum untuk memperketat pengawasan kampus hukum.
Ia meminta pemerintah tidak mudah memberikan izin pendirian fakultas hukum tanpa penjaminan mutu yang jelas.
“Pemerintah harus tegas menyeleksi izin kampus hukum. Organisasi profesi pun wajib menolak lulusan yang tidak kompeten. Etika harus ditanamkan sejak kuliah,” katanya.
Sebagai penggiat pengawasan informasi publik pada Badan Publik Pemerintah, Haidy juga menekankan pentingnya transparansi.
Ia menyebut keterbukaan informasi dapat menjadi alat kontrol publik untuk menilai kualitas kampus hukum dan lulusannya.
“Transparansi itu kunci. Masyarakat berhak tahu mana lembaga pendidikan yang benar-benar mencetak sarjana hukum berkualitas,” jelasnya.
Haidy mengingatkan masyarakat agar tidak mudah tergiur dengan gelar atau tarif murah saat mencari jasa hukum. Ia menilai, kompetensi dan rekam jejak harus menjadi tolok ukur utama.
“Pilih advokat yang jelas kompetensinya. Jangan hanya percaya pada titel di kartu nama,” pesannya.
Menutup pernyataannya, Haidy menyerukan kolaborasi semua pihak untuk menjaga marwah profesi hukum di Indonesia.
“Kualitas pendidikan, keterbukaan informasi, dan pengawasan publik harus berjalan seimbang. Kalau ini ditegakkan, fenomena sarjana hukum abal-abal bisa ditekan,” tutupnya. (Red)