KANNIADVOKASI.ID – Pakar Hukum Tata Negara, Feri Amsari, hadir sebagai saksi ahli dalam sidang gugatan Ummi Wahyuni terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada Selasa, 27 Mei 2025.
Perkara dengan nomor 68/G/2025/PTUN.JKT itu berkaitan dengan pemberhentian Ummi Wahyuni dari jabatannya sebagai Ketua KPU Provinsi Jawa Barat.
Kuasa hukum Ummi Wahyuni dari kantor hukum Fitriadi & Permana Lawyers yang dipimpin Geri Permana menghadirkan Feri Amsari guna memperkuat argumentasi hukum dalam gugatan tersebut.
Sejarah dan Urgensi PTUN dalam Negara Hukum
Dalam keterangannya, Feri Amsari menjelaskan bahwa sistem hukum Indonesia berakar pada sistem Civil Law Belanda yang tidak mengenal PTUN.
Ia menyebut Belanda menolak pengadilan semacam itu karena menganut konsep negara integralistik, di mana negara dianggap sebagai orang tua dan rakyat sebagai anak.
Menurut Feri, pandangan itu sudah tertinggal. Negara hukum modern justru menekankan perlindungan terhadap hak warga negara.
PTUN hadir untuk mencegah tindakan sewenang-wenang dari pejabat pemerintahan.
“Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara merupakan refleksi dari kebutuhan melindungi hak-hak warga negara dari keputusan pejabat yang tidak adil,” tegas Dosen Hukum Universitas Andalas itu.
DKPP Bukan Lembaga Yudikatif
Feri menyoroti keberadaan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang tidak disebut secara eksplisit dalam UUD 1945.
Ia menegaskan DKPP bukan lembaga peradilan sebagaimana Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung. Karena itu, putusan DKPP tidak bisa diposisikan setara dengan putusan lembaga yudikatif.
“DKPP hanyalah lembaga kuasi, bukan lembaga peradilan. Tidak boleh bertindak seperti pengadilan karena tidak berada di bawah Mahkamah Agung,” ujarnya.
Putusan DKPP Bukan Final dan Mengikat Secara Mutlak
Menanggapi status hukum putusan DKPP, Feri mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XIX/2021 yang menyatakan bahwa frasa “final dan mengikat” dalam Pasal 458 ayat (13) UU Pemilu tidak mutlak.
Putusan DKPP hanya bersifat final dan mengikat jika telah ditindaklanjuti oleh pejabat TUN melalui keputusan konkret, individual, dan final yang dapat digugat di PTUN.
Feri menegaskan bahwa dalam kasus Ummi Wahyuni, objek sengketa yang tepat adalah Keputusan KPU yang menindaklanjuti putusan DKPP, bukan putusan DKPP itu sendiri.
Keputusan Pejabat Negara yang Melampaui Wewenang Dapat Dibatalkan
Feri juga menyinggung Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang melarang pejabat negara mengeluarkan keputusan yang melampaui wewenang, mencampuradukkan kewenangan, atau bersifat sewenang-wenang.
Jika keputusan yang dikeluarkan KPU atas dasar putusan DKPP melanggar ketentuan itu, maka PTUN berwenang membatalkannya.
“KPU tidak boleh menindaklanjuti putusan DKPP jika keputusan itu secara formil dan materiil bermasalah,” tegas Feri Amsari.
Sidang berikutnya dijadwalkan dengan agenda pembuktian lebih lanjut dari pihak penggugat maupun tergugat. (Red)