Oleh: Chandra – Kepala Perwakilan Sulawesi Utara, kanniadvokasi.id
Di balik gemerlap emas dan kilau mineral bumi, ada peluh dan luka yang jarang dilihat publik. Mereka yang menggali isi bumi dengan tangan sendiri, bertaruh nyawa di lembah-lembah terjal, dan hidup dari tambang-tambang kecil yang kerap disebut ilegal, adalah manusia biasa: para penambang rakyat.
Penambang rakyat—baik yang bekerja secara manual maupun dengan bantuan alat berat—adalah pekerja keras yang setiap harinya berjuang bukan demi kemewahan, tapi demi dapur yang tetap mengepul, anak-anak yang tetap bisa bersekolah, dan keluarga yang tetap bertahan hidup.
Bagi mereka, tambang bukan sekadar sumber mineral. Ia adalah ruang hidup. Ia adalah harapan.
Namun sayangnya, dalam kerangka hukum positif di negeri ini, aktivitas pertambangan tanpa izin (PETI) cepat disematkan sebagai tindakan kriminal. Para pekerja tambang disebut pelaku kejahatan lingkungan.
Pengusahanya dicap mafia, cukong, bahkan terkadang dianggap sebagai ancaman nasional. Sebuah pelabelan yang kejam—mengabaikan realitas sosial dan membungkam nurani.
Padahal di lapangan, PETI telah menyerap ribuan tenaga kerja. Mereka tidak merusak karena ingin merusak. Mereka menambang bukan karena rakus, tapi karena sistem belum memberi akses legal dan peluang ekonomi yang merata.
Dalam banyak kasus, tambang rakyat justru menjadi satu-satunya ruang bertahan hidup di tengah matinya sektor pertanian dan lapangan kerja formal.
Lantas, pantaskah mereka disebut mafia? Cukong? Penjahat ekonomi? Bahkan lebih buruk, kafir?
Tidakkah terlalu kejam untuk menyamakan mereka yang menggali demi sesuap nasi dengan mereka yang merusak demi kekuasaan dan keuntungan besar?
Ironi Keadilan dan Ketimpangan Regulasi
Kita tak menafikan pentingnya penegakan hukum. Tapi hukum tidak boleh membunuh harapan hidup rakyat. Jika sistem perizinan tambang hanya bisa diakses pemodal besar, maka hukum hanya menjadi alat eksklusif—bukan alat keadilan. Ini bukan sekadar masalah legalitas, tapi juga soal keadilan sosial.
Para penambang rakyat tak punya akses ke kementerian, tak punya koneksi ke pemegang izin. Mereka hanya punya cangkul, ekskavator sewaan, dan harapan. Jika negara tak membuka ruang legal yang berpihak, apakah satu-satunya solusi adalah kriminalisasi?
Jika negara menutup tambang rakyat tanpa solusi, apakah negara juga siap menanggung beban ribuan pengangguran, anak putus sekolah, dan naiknya angka kriminalitas karena putus harapan?
Syuhada Nafkah
Bukan sedikit penambang rakyat yang gugur dalam aktivitas pertambangan. Mereka tertimbun longsor, keracunan zat kimia, atau mati lelah di tengah kerja berat yang membahayakan nyawa. Mereka adalah syuhada nafkah—gugur dalam ikhtiar suci memenuhi tanggung jawab sebagai pencari rezeki halal.
Mereka bukan kafir. Mereka bukan perusak. Mereka adalah korban sistem dan ketimpangan. Korban dari negara yang belum sepenuhnya hadir.
Ajakan untuk Melihat dengan Nurani
Wahai para penegak hukum, pejabat publik, jurnalis, dan masyarakat luas—marilah kita melihat dengan mata hati. Jangan buru-buru menilai dari balik meja atau dari layar statistik. Dengarlah jeritan mereka yang selama ini bekerja dalam diam, berjuang dalam sunyi.
Doronglah kebijakan legalisasi tambang rakyat. Berikan ruang untuk regulasi yang adil dan berpihak. Hadirkan program tata kelola pertambangan berbasis rakyat. Kita tak perlu menutup mata atas pelanggaran, tapi kita juga tak boleh menutup hati atas perjuangan.
Penambang rakyat bukan musuh negara. Mereka adalah anak negeri yang sedang mencari tempat di tanah airnya sendiri. Mereka tak butuh belas kasihan. Mereka butuh keadilan.
Tentang Penulis: