Penambang Rakyat di Persimpangan Nasib: Antara Hukum dan Hak Hidup

- Redaksi

Rabu, 18 Juni 2025 - 11:33 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Chandra, Kepala Perwakilan Sulawesi Utara kanniadvokasi.id, bersama Ketua Umum KANNI usai diskusi penguatan advokasi hukum dan isu pertambangan rakyat.

Chandra, Kepala Perwakilan Sulawesi Utara kanniadvokasi.id, bersama Ketua Umum KANNI usai diskusi penguatan advokasi hukum dan isu pertambangan rakyat.

Oleh: Chandra – Kepala Perwakilan Sulawesi Utara, kanniadvokasi.id

Di balik gemerlap emas dan kilau mineral bumi, ada peluh dan luka yang jarang dilihat publik. Mereka yang menggali isi bumi dengan tangan sendiri, bertaruh nyawa di lembah-lembah terjal, dan hidup dari tambang-tambang kecil yang kerap disebut ilegal, adalah manusia biasa: para penambang rakyat.

Penambang rakyat—baik yang bekerja secara manual maupun dengan bantuan alat berat—adalah pekerja keras yang setiap harinya berjuang bukan demi kemewahan, tapi demi dapur yang tetap mengepul, anak-anak yang tetap bisa bersekolah, dan keluarga yang tetap bertahan hidup.

Bagi mereka, tambang bukan sekadar sumber mineral. Ia adalah ruang hidup. Ia adalah harapan.

Namun sayangnya, dalam kerangka hukum positif di negeri ini, aktivitas pertambangan tanpa izin (PETI) cepat disematkan sebagai tindakan kriminal. Para pekerja tambang disebut pelaku kejahatan lingkungan.

Pengusahanya dicap mafia, cukong, bahkan terkadang dianggap sebagai ancaman nasional. Sebuah pelabelan yang kejam—mengabaikan realitas sosial dan membungkam nurani.

Padahal di lapangan, PETI telah menyerap ribuan tenaga kerja. Mereka tidak merusak karena ingin merusak. Mereka menambang bukan karena rakus, tapi karena sistem belum memberi akses legal dan peluang ekonomi yang merata.

Dalam banyak kasus, tambang rakyat justru menjadi satu-satunya ruang bertahan hidup di tengah matinya sektor pertanian dan lapangan kerja formal.

Lantas, pantaskah mereka disebut mafia? Cukong? Penjahat ekonomi? Bahkan lebih buruk, kafir?

Tidakkah terlalu kejam untuk menyamakan mereka yang menggali demi sesuap nasi dengan mereka yang merusak demi kekuasaan dan keuntungan besar?

Ironi Keadilan dan Ketimpangan Regulasi

Kita tak menafikan pentingnya penegakan hukum. Tapi hukum tidak boleh membunuh harapan hidup rakyat. Jika sistem perizinan tambang hanya bisa diakses pemodal besar, maka hukum hanya menjadi alat eksklusif—bukan alat keadilan. Ini bukan sekadar masalah legalitas, tapi juga soal keadilan sosial.

Para penambang rakyat tak punya akses ke kementerian, tak punya koneksi ke pemegang izin. Mereka hanya punya cangkul, ekskavator sewaan, dan harapan. Jika negara tak membuka ruang legal yang berpihak, apakah satu-satunya solusi adalah kriminalisasi?

Jika negara menutup tambang rakyat tanpa solusi, apakah negara juga siap menanggung beban ribuan pengangguran, anak putus sekolah, dan naiknya angka kriminalitas karena putus harapan?

Syuhada Nafkah

Bukan sedikit penambang rakyat yang gugur dalam aktivitas pertambangan. Mereka tertimbun longsor, keracunan zat kimia, atau mati lelah di tengah kerja berat yang membahayakan nyawa. Mereka adalah syuhada nafkah—gugur dalam ikhtiar suci memenuhi tanggung jawab sebagai pencari rezeki halal.

Mereka bukan kafir. Mereka bukan perusak. Mereka adalah korban sistem dan ketimpangan. Korban dari negara yang belum sepenuhnya hadir.

Ajakan untuk Melihat dengan Nurani

Wahai para penegak hukum, pejabat publik, jurnalis, dan masyarakat luas—marilah kita melihat dengan mata hati. Jangan buru-buru menilai dari balik meja atau dari layar statistik. Dengarlah jeritan mereka yang selama ini bekerja dalam diam, berjuang dalam sunyi.

Doronglah kebijakan legalisasi tambang rakyat. Berikan ruang untuk regulasi yang adil dan berpihak. Hadirkan program tata kelola pertambangan berbasis rakyat. Kita tak perlu menutup mata atas pelanggaran, tapi kita juga tak boleh menutup hati atas perjuangan.

Penambang rakyat bukan musuh negara. Mereka adalah anak negeri yang sedang mencari tempat di tanah airnya sendiri. Mereka tak butuh belas kasihan. Mereka butuh keadilan.

Tentang Penulis:

Chandra adalah Kepala Perwakilan Sulawesi Utara dari kanniadvokasi.id. Aktif mengadvokasi hak-hak masyarakat akar rumput, khususnya penambang rakyat, dan mendorong kebijakan publik yang adil dan berpihak pada kesejahteraan sosial.

Berita Terkait

Makna dan Syarat Sah Perjanjian dalam KUH Perdata
STIHP Pelopor Bangsa Buka Pendaftaran Mahasiswa Baru Tahun Akademik 2025/2026
KANNI Berikan Konsultasi dan Bantuan Hukum Disambut Antusias Kepala Desa se-Kecamatan Cibungbulang
Bina Bankum Aparatur Desa se-Kecamatan Dramaga
DPC PERADI Kota Depok Buka Pendaftaran PKPA Bekerja Sama dengan STIHP Pelopor Bangsa
5 2 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Berita Terkait

Rabu, 21 Mei 2025 - 23:09 WIB

Tak Bisa Sembarang Tolak Informasi, Komisi Informasi Jabar Minta Tirta Pakuan Kota Bogor Lakukan Uji Konsekuensi

Berita Terbaru

Haidy Arsyad, Ketua KANNI Kabupaten Bogor

Pemerintah Daerah

Pemimpin Baru, Tantangan Lama: KANNI Kabupaten Bogor Soroti Isu Penting

Sabtu, 10 Mei 2025 - 08:44 WIB