Nafkah yang Digali dari Tanah
KANNIADVOKASI.ID – Setiap hari, ribuan penambang rakyat bangun lebih awal dari matahari. Mereka bukan sekadar menggali emas, pasir, atau batu. Mereka menggali harapan.
Dengan alat manual atau ekskavator sewaan, mereka memasuki kawasan bukit, hutan, atau sungai untuk mencari rezeki. Bertaruh nyawa demi sesuap nasi, demi anak yang harus tetap sekolah, dan istri yang menanti uang belanja.
Bagi sebagian orang, ini hanyalah “tambang ilegal”. Tapi bagi mereka, ini adalah sumber kehidupan.
PETI: Antara Dosa Hukum dan Hak Hidup
“Kami tidak sedang membela pelanggaran hukum. Tapi kami bicara tentang fakta sosial yang tak terbantahkan: tambang rakyat adalah jalan hidup, bukan kejahatan,” ujar Hendra Abarang dari Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia (APRI).
Hendra menegaskan bahwa secara hukum, pertambangan tanpa izin (PETI) memang melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba. Namun, lanjutnya, realitas di lapangan jauh lebih kompleks.
“Banyak dari mereka menambang karena tidak ada pilihan hidup lain. Tanah pertanian rusak, lapangan kerja tak tersedia. Maka tambang jadi pilihan—meskipun tanpa izin,” kata Hendra.
Siapa Sebenarnya Mafia?
“Yang disebut mafia tambang seharusnya mengacu pada para perampas kawasan hutan besar-besaran, pelaku tambang skala industri yang merusak tanpa izin lingkungan dan tanpa kontribusi ke negara. Bukan rakyat kecil yang menggali pakai linggis,” tegas Hendra.
Menurut APRI, istilah seperti “cukong” atau “mafia” terlalu kejam jika dilekatkan pada para pekerja tambang rakyat dan pengusaha lokal skala kecil.
Sebaliknya, sektor tambang rakyat justru menyerap ribuan tenaga kerja dan menopang ekonomi di daerah.
Korban yang Terlupakan
Hendra mengungkapkan keprihatinannya atas banyaknya penambang rakyat yang wafat saat bekerja, namun tak mendapat perhatian negara.
“Mereka mati bukan karena kriminalitas. Mereka wafat dalam perjuangan menafkahi keluarga. Mereka syuhada nafkah,” ujarnya.
Ia menyesalkan jika ada pihak-pihak yang dengan mudah melabeli para penambang sebagai perusak atau bahkan “kafir lingkungan”.
Saatnya Negara Hadir
APRI mendorong pemerintah membuka ruang legal bagi pertambangan rakyat. Menurut Hendra, pendekatan represif harus diganti dengan pola pemberdayaan. Legalitas tambang rakyat harus difasilitasi, bukan dimatikan.
“Kalau negara hadir hanya lewat operasi penertiban, maka kita sedang membunuh harapan ribuan kepala keluarga,” pungkas Hendra. (Chandra)