MA Tegaskan Honorarium Advokat Tak Bisa Dibebankan ke Tergugat
Dalam perkara perdata di pengadilan, para pihak berhak menunjuk satu atau lebih advokat sebagai kuasa hukum. Hak tersebut dijamin undang-undang, sebagaimana diatur dalam Pasal 123 ayat (1) HIR dan Pasal 147 ayat (1) RBg.
Teknis penunjukan kuasa hukum merujuk pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 6 Tahun 1994 tentang Surat Kuasa Khusus dan SEMA Nomor 7 Tahun 2012 terkait pedoman pelaksanaan tugas pengadilan.
Pemberian kuasa khusus kepada advokat cukup dibuat melalui akta di bawah tangan, tidak wajib akta autentik, sebagaimana diatur dalam Pasal 1793 KUHPerdata.
Namun, advokat wajib menyelesaikan tugas yang diberikan hingga tuntas. Jika lalai, ia bisa dibebani seluruh biaya, kerugian, dan bunga akibat wanprestasi, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1800 KUHPerdata.
Ini selaras dengan ketentuan Pasal 6 huruf a dan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yang mewajibkan advokat menaati isi kuasa khusus yang diberikan klien.
Dalam praktiknya, penunjukan advokat bukanlah tanpa biaya. Klien sebagai pemberi kuasa wajib membayar honorarium sesuai kesepakatan bersama, mengacu Pasal 21 ayat (1) dan (2) UU Advokat.
Masalah muncul ketika dalam gugatan, pihak penggugat mencoba membebankan biaya honorarium advokat kepada tergugat sebagai bagian dari ganti rugi. Apakah ini dibenarkan secara hukum?
Mahkamah Agung RI dalam putusan landmark Nomor 218 K/Pdt/1952 tanggal 2 Februari 1956 menyatakan, tidak ada aturan dalam hukum acara perdata (HIR/RBg) yang mewajibkan seseorang berperkara harus menggunakan jasa advokat.
Oleh karena itu, biaya jasa hukum tidak bisa ditagihkan kepada pihak lawan, meskipun kalah di persidangan.
Putusan ini kemudian dijadikan rujukan dalam berbagai putusan lain, termasuk Putusan MA RI Nomor 3557 K/Pdt/2015 tanggal 29 Maret 2016.
Dengan demikian, MA secara tegas menolak pembebanan honorarium advokat kepada pihak lawan dalam perkara perdata.
Biaya jasa hukum tetap menjadi tanggung jawab penuh dari pihak yang menunjuk advokat, bukan beban pihak yang dikalahkan dalam putusan.
Kaidah hukum ini penting menjadi acuan para hakim saat menangani perkara perdata dan menjadi pengingat bagi masyarakat agar tidak keliru memahami ruang lingkup ganti kerugian di pengadilan. (Red)